Ao Makham, salah satu komunitas Muslim di provinsi Puket Thailand, terlihat sibuk siang itu, sehari menjelang Idul Adha yang jatuh pada di pengujung tahun 2006. Tak terdengar takbir pertanda hari suci umat Islam tiba saat bus VIP yang saya tumpangi memasuki kawasan wisata Puket. Mungkin karena jumlah Muslimnya tidak sebanyak Patani, Yala dan Naratiwat, sehingga perayaan Idul Adha tidak begitu terlihat di perkotaan. Baru ketika mobil pick up temanku melaju membelah perkebunan karet, tampaklah beberapa perempuan memakai jilbab dan laki-laki berkopyah pulang dari masjid siang itu.
Ao Makham diambil dari bahasa lokal yang berarti Teluk Tamarin. Ao artinya teluk dan makham artinya tamarin, yaitu buah asam yang manis rasanya seperti coklat. Di desa kecil inilah saya merayakan Idul Adha bersama keluarga Marddent, sebuah keluarga besar yang tergolong aktif dalam aktivitas Jamaah Tabliq, salah satu sekte dalam Islam yang bergerak di bidang dakwah lintas negara. Di keluarga inilah selama tiga hari, saya mencoba memahami cara Muslim Thai merayakan Idul Adha, salah satu hari raya umat Muslim selain Idul Fitri.
Yang unik pada perayaan Idul Adha di Ao Makham adalah pada hidangan lebaran yang disuguhkan setelah sholat Id pagi hari. Lain budaya lain pula tata cara dan kepercayaannya. Kalau di Banyuwangi – Jawa Timur, dimana saya dilahirkan, hari raya selalu diasosiasikan dengan makan ketupat. Maka setiap hari raya, jika Anda berkunjung ke Banyuwangi, kota paling ujung di Jawa Timur Anda akan menemukan hidangan ketupat dipadu dengan opor ayam atau gulai kambing atau sapi menjadi hidangan favorit saat lebaran. Tidak demikian halnya di Ao Makham-Puket, justru pada saat lebaran khususnya lebaran haji, menu utamanya adalah “Ikan” yang dimasak beberapa macam menu seperti kanomchin, bubur, gulai dan kengsum. Jika menu standar kenduri setelah Id di Banyuwangi adalah nasi, ayam atau daging sapi dibumbu merah, mie, tumis kacang panjang, maka di Ao Makhan lain pula ceritanya meskipun sama-sama kota pesisir.
Muslim di Ao Kaman menempatkan ikan laut sebagai menu utama lebaran. Setelah sholat Id, semua jamaah Majid Izatul Islam dipersilahkan makan nasi bubur ikan atau bahasa lokalnya disebut khaotom yang telah disediakan oleh panitia masjid. Khaotom (Khao= nasi, tom=sesuatu yang ada airnya) ini dibuat dari nasi yang dimasak seperti bubur dibumbui bawang dan merica dan dicampur potongan-potongan kecil ikan laut segar. Khaotom biasa disajikan dengan ditaburi daun bawang dan seledri mentah, jadi sangat terasa segarnya. Begitu imam sholat Id menutup ibadah dengan doa, ratusan jamah sholat ‘id pagi itu langsung menuju meja prasmanan.
Mereka berjajar rapi mengambil satu mangkok khaotom. Jamaah laki-laki dan perempuan dipisahkan. “Kenapa hidangannya bubur ikan?,” tanyaku penuh penasaran pada temanku yang antri di belakangku. Menurut Saadah, temanku, ikan adalah penghasilan terbesar di desanya dan semua orang mampu membeli termasuk para fakir miskin. Alasan kedua adalah pada hari kurban hampir semua orang di desa Ao Makham mendapatkan jatah daging kurban, makanya mereka memilih hidangan yang cepat dan sederhana untuk menjamu jamaah sholat ‘id. Setelah menghabiskan satu mangkok khaotom, jamaah kemudian dipersilahkan menyantap “dawet” atau bahasa lokalnya lo chong. Hidangan manis ini sama persis dengan dawet cendol nya orang Jawa. “ Diberi nama lo chong karena bentuk cendolnya yang dicetak memanjang melalui lobang dan meluncur jatuh sendiri di panci, maka namanya lo chong,” begitulah kawanku menjelaskan. “Tapi hidangan semacam ini hanya pada saat lebaran haji, sementara pada saat Idul Idul Fitri biasanya hidangan lebih bervariasi dan lebih banyak lagi”, tambah Da sambil menyantap lo chong.
Seperti adat di kampungku juga, setelah sembahyang id, maka kita bersalam-salaman dengan para tetangga yang datang ke masjid. Hanya saja di Ao Makham, mereka tidak mengucapkan sepatah kata “maaf” secara verbal, saat menjabat tangan tetangganya. Tidak seperti tradisi kebanyakan di Indonesia, begitu kita berjabat tangan dengan tetangga maka kata “maaf lahir batin” akan meluncur sepontan sebagai pengakuan dosa dan refleksi dari kesalahan ucap maupun laku dari si peminta maaf dan disambung secara dengan, “sama-sama, akupun demikian”, oleh yang dimintai maaf. Di Ao Makham, mereka hanya berjabat tangan dan kemudian mengusapkan tangannya dari atas kepala sampai ke muka. Saya hanya bisa menangkap sebuah ketulusan hati disana. Mata yang berkaca-kaca saat anak menjabat tangan dengan orang tua, kakak dan adik berpelukan, bagiku cukup menggantikan kata “maaf” secara verbal. Mata yang basah manakala pertemuan keluarga di rumah induk seperti yang terjadi siang itu di keluarga Marddent adalah bukti penyesalan dan keinginan untuk rekonsiliasi dengan anggota keluarga jika pernah ada kata atau laku yang menoreh luka. Dan temanku membenarkan asumsi saya bahwa jabat tangan dalam konteks lebaran artinya meminta maaf. Hanya kerabat dekat sajalah yang menjadi sasaran silaturahmi, sementara tetangga-tetangga sudah dituntaskan ketika berada di masjid karena hampir semua warga hadir pada saat sholat Id.
Bukan lebaran tanpa makan kanomchin, itulah pepatah yang pas untuk melukiskan tradisi warga Muslim di Ao Makham. Kanom artinya makanan dan chin diambil dari kata China. Hidangan kanomchin terdiri dari tiga komponen, mie putih, sayuran dan sup ikan. Mie putih terbuat dari bahan dasar beras yang dimakan bersama sayur-sayuran dan diguyur dengan sup dari ikan yang dihancurkan dan dimasak dengan santan. Rasanya pedas dan sedap sekali. Hampir di setiap rumah (keluarga) yang kami singgahi selalu disempatkan makan kanomchin. Rajungan, kepiting dan kerang juga bisa dijadikan alternatif saus jika menghendaki rasa yang berbeda. Maklumlah desa Teluk Tamarin ini hanya terletak 200 meter dari tepi pantai. Berbicara filosofinya makan kanomchin pada saat lebaran, beberapa ibu-ibu memberikan penjelasan seperti di bawah ini:
“Mungkin karena mudah dimasak dan tidak ribet, maka kami memilih kanomchin sebagai hidangan lebaran” (Ibu A)
“Emmm..dulunya “kanomchin” itu makanan china, nenek moyang kita dilarang makan, tapi sekarang kita bisa menikmatinya” (Ibu B)
“Kanomchin” adalah makanan traditional kita, penduduk tepi laut” (Ibu C)
“Hidangan ini murah dan tidak mengenyangkan, jadi bisa makan berkali-kali” (Temanku)
Apapun filosofi di balik makanan kanomchin, saya sangat menikmatinya, sebagai penghormatan tapi juga ketagihan karena setiap rumah punya cita rasa sendiri-sendiri. Apalagi makannya sambil ditemanin dengan gosip terbaru tentang terpilihnya kepala desa baru di desa Aokamah. Tak urung makan kanomchin sepiringpun bakalan nambah.
Leave a comment